Minggu, 25 Januari 2015

SAVE OUR EARTH, PLEASE

Lelah, pusing, lemas.. Itu semua yang aku rasakan hari ini. Memang semenjak 2 hari yang lalu aku tidak enak badan. Entah mengapa itu ku rasakan.
“Zahra, ayo pulang. Udah bel pulang dari tadi kok masih di kelas saja.” Ajak Indra yang masuk ke kelasku.
“Aku capek banget nih, nggak kuat mau pulang.”
“Lhoh kamu tuh gimana, terus motor kamu mau di taruh mana?” Indra kaget dan segera duduk disampingku.
“Anterin pulang.” Aku merengek seperti anak kecil.
“Aku?? Suruh nganterin kamu? Ogah ah, mending pulang sekarang aku-nya.” Indra berdiri dari kursinya tadi.
“Ndra, tunggu. Aku beneran nggak enak badan. Katanya sahabat? Tolong, kali ini aja.”
“Kamu beneran sakit Ra? Ya udah, aku anter pulang. Motor kamu titipin aja dulu ke penjaga sekolah, tapi kuncinya kamu bawa.”
“Oke.”
Aku dan Indra memang bersahabat sejak kecil, dari SD sampai kami duduk di bangku kelas 2 SMA ini, kami selalu satu sekolah.
Cerpen Motivasi - Save Our Earth, Please
Setelah aku diantar Indra menitipkan motor ke penjaga sekolah, aku diantar pulang olehnya. Tetapi sebelum pulang aku mengajak Indra untuk pergi ke taman yang dulu waktu kami kecil, kami sering bermain ke taman itu. Setelah aku diboncengkan Indra beberapa saat, kami pun sampai di taman itu.
“Ngapain sih Ra, mampir kesini segala. Kamu kan sakit?”
“Iya, Ndra, aku tahu. Sebentar aja, ya. Aku pengen duduk di bawah pohon ini sebentar. Ayo sini duduk, Ndra.” Aku pun bersandar di bawah pohon itu.
Indra dan aku duduk di pohon trembesi yang rimbun dan tampak besar itu. Pikiranku melayang disaat kai kecil dulu.
“Ndra.” Aku membuyarkan lamunan Indra.
“Apa?”
“Masih ingat nggak waktu kita kecil dulu? Kita main petak umpet di sini. Aku inget lho waktu kamu ngumpet di pohon ini. Ya ampun, sumpah kamu waktu itu imut banget, mana sukanya gelitikin aku lagi. Hahaha...”
“Iya Ra. Kamu juga lucu banget dulu. Andai waktu itu bisa terulang lagi, aku pengen balik lagi ke masa itu.”
“Hufft, iya Ndra. Nggak nyangka kita sahabatan udah lama banget ya. Semenjak aku SD sampai SMA ini kita sama-sama terus.”
“Iya. Agak geser sini duduknya. Aku jadi kangen waktu kita dulu di desa, Ra.”
“Ya ampun, ternyata kamu juga masih inget desa, Ndra? Aku kira kamu udah lupa. Sekarang kamu jadi cowok yang smart, keren, dan populer di sekolah, masih ingat juga sama asalnya. Hahaha..”
“Aku bukan kacang lupa kulitnya dong, Ra. Aku ingat, dan akan selalu ingat akan desa kita dulu. Ya, desa yang jauh akan polusi seperti saat ini. Tempat dimana kita bisa melepas kepenatan, bermain di kebun teh, kejar-kejaran, bakar-bakaran jagung, semuanya aku ingat. Dan akan selalu aku ingat. Disini memang ada tempat yang seperti itu? Ada pun itu hanya beberapa tempat. Capek sih setiap hari berhadapan dengan polusi, mana harus bangun pagi buat ke sekolah.”
“Kamu bener, Ndra. Masa kecil, ya.. itu indah. Ya, tapi sekarang kita meneropong ke depan, kita disini dikirim orangtua kita hanya buat kita mengejar mimpi kita. Kita akan wujudkan mimpi kita disini, memang susah payah kita mendapatkan mimpi itu, tapi kelak kita menuai keberhasilan kita. Mewujudkan cita-cita lebih baik, bahkan lebih indah dibandingkan masa kecil kita yang indah dulu.” Aku berbicara panjang lebar.
“Iya..” Indra mengelus kepalaku.
“Ndra, lihat deh daun yang gugur itu. Kamu pernah bayangin nggak, kita jadi daun itu.”
“Kenapa emang?”
“Daun yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampunan. Dari kecil kita sudah diajari orangtua sopan santun, budi pekerti, dan kita juga mengenyam pendidikan selama ini. Tetapi kelak, kita akan menghadap Allah pada akhirnya.”
“Ya ampun, kamu udah kaya Pak Ustadz yang ngajarin ngaji kita dulu. Ra. Tapi bener juga yang kamu bilang tadi. Ra. Aku jadi kasian sama pohon ini. Andai aja pemerintah lebih memfokuskan buat ngadain penanaman 1000 pohon bukan Cuma ngomong tapi juga ada tindakan. Pasti efek rumah kaca dan global warming nggak separah sekarang. Jakarta semakin hari tanahnya semakin rendah, polusi dimana-mana dan serba semruwet.”
“Bener Ndra. Tapi itu semua juga harus diikuti kesadaran masing-masing personalnya. Bisa tidaknya kita melaksanakan program ‘Save Our Earth’. Aku percaya kesadaran kayak gitu memang harus dimulai dari hal kecil, bukan hanya pemerintah yang kita sesalkan. Bagaimana bisa kita mengkritik orang lain jika kita saja belum melaksanakan kritikan kita tadi? Banyak lho yang belum sadar hal tadi. Contohnya pemborosan penggunaan tissue.”
“Iya, Ra. Padahal kalo kita pakai satu lembar tissue sama menghabiskan satu box tissue. Sama saja hasilnya. Dengan penggunaan satu lembar tissue asal kita bisa memanfaatkan selembar tissue itu dengan efisien tidak akan terjadi pemborosan. Menghemat satu box tissue berarti kita juga sudah menghemat berpuluh-puluh pohon di bumi ini.”
“Siip deh. Pokoknya pohon banyak manfaatnya. Aku jadi pengen ngelakuin program Pak SBY yang ‘Banyak Pohon Banyak Rejeki’.”
“Oke deh bos... Besok Minggu pagi jadi pengen jalanin program itu di pekarangan kost ku. Biar bisa mengurangi kesumpekan di Jakarta. Udah sore nih, pulang yuk.” Ajak Indra mengulurkan tangannya kepadaku.
***

Di kamar aku mulai berfikir apa judul karya ilmiahku untuk pemilihan finalis yang dilombakan 2 bulan lagi. Padahal hari ini badanku lelah sekali. Iya, memang lomba itu akan diadakan 2 bulan lagi, tapi aku ingin mempersiapkan karya ilmiahku ini sebaik-baiknya. Tapi mendapat judul untuk karya ilmiah saja belum..!
***

Paginya aku berjalan di lorong menuju ruang kelasku. Tiba-tiba Indra menepuk pundakku dari belakangku.
“Pagi Zahra.”
“Ya ampun, Ndra. Kamu tuh ngagetin aku aja. Ada apa sih?”
“Hehe, maaf. Eh, ngomong-ngomong kamu udah nyiapin bahan buat pemilihan finalis lomba karya ilmiah?” Tanya Indra.
“Itu... Oh iya, aku belum nyiapin. Tadi malem aku nggak enak badan. Kalo kamu memang udah?”
“So pasti udah dong, Ra. Indra gitu loh!”
“Iya, iya. Ledek aja terus. Huh!”
“Aduh jangan ngabek dong, adikku yang cantiik.”
“Adik ?” Tanyaku terkejut.
“Iya. Adik! Emang kamu nggak mau aku anggep adikku?”
“Ya bukannya gitu, Ndra.. Oke deh kakak ku yag paling bawel!”
“Ya udah, yuk ke kelas.”
“Kelas ? Kelas kita kan beda, Ndra. Aku masih kelas X, kamu kelas XI kan?”
“O iya. Maksudku ke kelasmu nanti aku jalan sendiri ke kelasku.”
***

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku segera ke toko buku dekat sekolahku. Disana aku mencari referensi tentang karya ilmiah yang akan aku buat nantinya.
“Aduh, aku bikin karya ilmiah apa? Judul aja belum dapet!”

Aku pun mengobrak-abrik rak buku tentang Sains. Aku pun mendapat ide untuk memberi judul karya ilmiahku. Aku mengambil satu buah buku dan kubawa ke meja. Aku pun membuka laptop-ku.
“Oke Zahra. Let’s Work!”

Aku beri judul karya ilmiah-ku ‘Save Our Earth’.
“Gue yakin se-yakin-yakinnya! Karya ilmiah ini bakal jadi jawaranya.”
***

Sampai di kelas, aku segera ke kelas XI Akselerasi 1, disitulah kelas Indra Mahardika.
“Maaf Kak. Bisa ketemu Indra nggak?”
“Indra?!” Orang itu mengerutkan dahinya.
“Eh, maksudnya Kak Indra Mahardika.” Kakak yang di bajunya bertuliskan nama ‘Intan Nurjannah Y.’ ‘Oh, kak Intan namanya.’ (Batinku dalam hati)
“Kenapa, Ra?”
“Sini dulu deh, Ndra.” Aku menarik tangan Indra menuruni tangga.
“Apa sih, Ra. Kayaknya penting banget!”
“Iya. Ini tuh penting badai!”
“Oke. Sekarang mau ngomong apa? Sama apa tuh yang di tangan kamu?”
“Nah, ini nih yang mau aku kasih tau ke kamu. Aku udah dapet judul karya ilmiah.”
“Gitu doang? Kirain apaan. Ya udah, aku mau ke kelas lagi.”
“Aduh tunggu dong. Aku belum selesai. Judulnya ‘Save Our Earth’ Cakep nggak tuh?. Sama aku udah bikin beberapa referensi tentang itu. Aku yakin deh, bakal ngalahin karya ilmiah yang kamu buat.” Aku menarik tangan Indra.
“Mana mungkin? Yakin amat lu! Udah deh. Aku masih ada urusan nih.”
“Kamu tuh hobi banget tanganmu aku tarik ya! Tunggu dong, sok sibuk banget sih! Heran deh. Oke-oke. Aku mau taruhan sama kamu. Mau nggak?”
“Taruhan apa sih, Ra?”
“Aku mau taruhan, yang kalah di pemilihan finalis lomba karya ilmiah nanti harus mau nraktir yang menang. Setuju? ”
“Oke, setuju. Tapi harus konsekuen ya?”
“Sip deh kakak ku yang paling buawell!”
“Dasar kamu tuh. Ya udah sampe ketemu di kost ya?” Indra mencubit pipi-ku dan meninggalkanku.
“Siap bos!!” Aku hormat ke Indra dan segera menuruni tangga, bergegas ke kelasku.
***

2 Bulan telah berlalu. Hari ini, aku bersiap di depan para Juri untuk menunjukkan hasil karyaku, jerih payahku.
“Tarik nafas, buang, tarik buang. Calm down, Zahra... You can do it!” Aku menarik nafasku panjang.
“Haha Zahra-Zahra. Kamu tuh udah kayak mau melahirkan aja.” Indra menghampiriku, dan duduk di sebelahku.
“Sumpah, parah banget lu! Ini tuh cita-cita ku dari masuk SMA ini. Semoga aku lolos deh.”
“Oke-oke. By the way, kamu Cuma sendiri? Nggak ada temen?” Indra menoleh sekelilingku.
“Iya, Ndra. Gitu deh, emang temen-temenku pada kalah sebelum bertanding. Padahal mereka banyak lho yang ikut. 12 orang dari kelasku. Tapi pas mereka ke papan pengumuman, mereka tau lawannya Kak Erin sama Kak Rendi, mereka takut lawan mereka. Ya, jadi yang sisa aku sama si Dony.”
“Aduh, payah. Immersi gitu lho... Yang ikut karya ilmiah Cuma 2 orang.”
“Ngejek lagi, ngejek aja terus deh!”

Indra pun duduk di sebelahku. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya namaku dipanggil. “Zahra Chairunnisa Vani, silahkan mempresentasikan!” kata salah seorang dewan juri.
Aku pun maju dan mempresentasikan hasil karya ilmiahku. Setelah aku selesai , dan ini saatnya mengumumkan yang masuk ke final dari 20 calon peserta, hanya tersisa 10 orang yang masuk ke final. Dan ternyata namaku terpilih, Indra juga.

Hasil dari putaran final pun diumumkan hari ini juga, dan yang keluar menjadu peserta untuk mewakili sekolah ku adalah Indra Mahendra Kurniawan daaann.... Zahra Chairunnisa Vani, akuu..!! Aku janji deh, akan ngewujudin Save Our Earth punyaku sebelum dan setelah lomba ini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar